Wednesday, July 25, 2012

PELAKSANAAN NYATA FUNGSI PARTAI POLITIK DI INDONESIA (2007)

TUGAS MAKALAH
PELAKSANAAN NYATA
FUNGSI PARTAI POLITIK DI INDONESIA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Politik Indonesia yang diampu oleh Tunjung Sulaksono, S.IP
2007
I. PEMBAHASAN
Untuk menjamin kelangsungan demokrasi, maka dibutuhkan alat sebagai regulator dan wadah ekspresi masyarakat, maka dibuatlah partai politik sebagai media partai politik sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional, untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka (Meriam B,1993:160-161). Keberadaan partai politik tidak bisa dilepaskan dari kehidupan setiap negara demokrasi dan dianggap sebagai salah satu institusi yang mampu mengakomodir aspirasi rakyat serta dapat dijadikan alat kontrol kebijakan-kebijakan pemerintah. Partai politik memiliki fungsi*:
1. Sebagai Sarana Komunikasi Politik
Awal kemerdekaan, partai politik belum berperan optimal sebagai wadah menyalurkan aspirasi politik rakyat terlihat banyak ketidakpuasan masyarakat yang merasa aspirasinya tidak terwadahi dalam bentuk gerakan-gerakan separatis seperti proklamasi Negara Islam oleh Kartosuwiryo tahun 1949. Pada masa orde lama, peran partai politik sebagai wadah penyalur aspirasi politik rakyat juga belum terlaksana sesuai harapan. Partai politik cenderung terperangkap oleh kepentingan partai bukan kepentingan rakyat, akibatnya terjadi ketidakstabilan sistem kehidupan politik dan kemasyarakatan yang ditandai dengan berganti-gantinya kabinet. Rasa keadilan terusik dan ketidakpuasan semakin mengental, demokrasi hanya dijadikan slogan politik, tapi tidak disertai upaya memberdayakan pendidikan politik rakyat. Masa orde baru, peran partai politik dicoba ditata melalui UU No. 3 Tahun 1973. Trauma penyakit kepartaian agaknya telah mendorong pemerintah untuk memperkecil jumlah partai politik dengan cara memfusikannya sehingga konflik-konflik ideologipun, seandainya timbul, akan dapat diperkecil.**..Namun penataan partai politik tersebut ternyata tidak membuat semakin berperannya partai politik sebagai wadah penyalur aspirasi politik rakyat. Hal ini terlihat dari kebijaksanaan publik yang dihasilkan ternyata kurang memperhatikan aspirasi politik rakyat dan cenderung merupakan sarana legitimasi kepentingan penguasa dan kelompok tertentu. Hal ini karena peran partai politik sebagai wadah penyalur aspirasi politik rakyat tidak ditempatkan sebagai kekuatan politik bangsa tetapi hanya sebagai mesin politik penguasa dan assesoris demokrasi untuk legitimasi kekuasaan. Akibatnya peran partai politik sebagai wadah penyalur betul-betul terbukti nyaris bersifat mandul dan hampir-hampir tak berfungsi.
Era reformasi muncul sebagai gerakan korektif dan pelopor perubahan-perubahan mendasar di berbagai aspek kehidupan. Gerakan reformasi yang melahirkan proses perubahan dan melengserkan pemerintahan orde baru dan melahirkan UU No. 3 Tahun 1999 tentang partai politik memungkinkan sistem multi partai kembali bermunculan. Aturan hukum yang sangat mudah untuk mendirikan sebuah partai politik. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh ”politisi petualang” untuk mendirikan partai politik baru dengan prinsip asal beda dari partai-partai yang sudah ada, sebagaimana yang sedang ”ngetren” akhir-akhir ini (Jeffry Geovanny: Republika, 7/12/2005).



* Mas’oed, Mohtar dan MacAndrews, Colin (ed).1997. Perbandingan Sistem Politik.Yogyakarta:Gajah Mada University Press.
** Isbodroini Suyanto.1989.Perkembangan Peranan DPR-RI: Suatu Tinjauan Budaya Politik,Makalah Seminar AIPI.Yogyakarta:AIPI


2. Peran Sebagai Sarana Sosialisasi Politik
Proses sosialisasi atau pendidikan politik Indonesia tidak memberikan ruang yang cukup untuk memunculkan masyarakat madani (civil society).* Masyarakat madani
merupakan gambaran tingkat partisipasi politik pada takaran yang maksimal. Dalam
kaitan ini, sedikitnya ada tiga alasan utama mengapa pendidikan politik dan sosialisasi
politik di Indonesia tidak memberi peluang yang cukup untuk meningkatkan partisipasi
politik masyarakat.**
3. Peran Sebagai Sarana Rekrutmen Politik
Rekrutmen politik yang adil, transparan, dan demokratis pada dasarnya untuk memilih orang-orang yang berkualitas dan mampu memperjuangkan nasib rakyat
untuk mensejahterakan dan menjamin kenyamanan dan keamanan hidup bagi
setiap warga negara. Namun sampai saat ini proses rekrutmen politik belum berjalan secara terbuka, transparan, dan demokratis yang berakibat pemilihan kader menjadi tidak obyektif. Proses penyiapan kader juga tidak sistematik dan tidak berkesinambungan. Pembinaan terhadap kadernya lebih inten hanya pada saat menjelang adanya event-event politik dan masih lebih didominasi oleh kekuatan-kekuatan di luar partai politik.
4. Peran Sebagai Sarana Pengatur Konflik
Dalam menjalankan peran sebagai pengatur konflik ini, partai-partai politik harus
benar-benar mengakar di hati rakyat banyak, peka terhadap tuntutan kebutuhan rakyat. Dengan munculnya partai-partai baru tentu saja persyaratan mengakar di hati rakyat belum bisa terpenuhi. Sedangkan partai politik yang lama belum tentu telah memiliki akar yang kuat di hati rakyat, mengingat partisipasi politik rakyat masih lebih banyak bersifat semu. Artinya rakyat baru memiliki partisipasi yang nyata adalah pada saat pelaksanaan pemilihan umum, sementara pada proses-proses pembuatan keputusan politik, dan kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan politik masih tergolong dalam kategori yang relatif rendah. Belum cukup marak tuntutan dan suara-suara yang memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Awal pendirian suatu partai akan mengatakan bahwa partai tersebut didirikan untuk memperjuangkan rakyat kecil, memperbaiki nasib kalangan bawah dan segudang janji manis lainnya. Namun Pemilihan Umum selesai maka janji tinggallah janji. Alih-alih berusaha memperjuangkan nasib rakyat, partai-partai politik malah sibuk dengan urusannya sendiri. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi, tidak sedikit partai-partai politik tersebut malah mengalami perpecahan. Bagaimana bisa memperjuangkan nasib rakyat kalau kondisi internal partainya rentan terhadap perpecahan.
Kegagalan paling mendasar para pimpinan partai politik adalah bahwa tak seorang pun dari mereka yang telah membenahi organisasi partai sebagai sarana demokrasi. Pelaksanaan atas demokrasi itu sendiri sampai hari ini juga masih terjadi kekurangan dan adanya penyakit khas yang menjangkit di Indonesia ini, pelaksanaan demokrasi malahan meminta “tumbal”. Orang-orang partai politik banyak melakukan praktek money politic. Di antaranya bahwa partai politik di Indonesia merupakan lembaga terkorup. Dengan kondisi partai politik yang mulai kehilangan basisnya karena



* Yaitu suatu masyarakat yang mandiri, yang mampu mengisi ruang publik sehingga mampu membatasi kekuasaan negara yang berlebihan.
** Gaffar, Afan.1999.Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi.Jakarta:Pustaka Pelajar Indonesia.


partai politik kurang peka dan respek terhadap penderitaan rakyat. Partai politik tak lebih sebagai kendaraan politik menuju singgasana kekuasaan dan politik dagang sapi menjamur. Fenomena itu tentunya disebabkan karena hampir semua partai politik secara historis dibangun atas ”privilege cultural”, sehingga dari sisi kapasitas dan kapabilitasnya masih diragukan. Terbentuknya partai politik juga hanya berangkat dari kepentingan segelintir orang terhadap kekuasaan dan uang, ini terlihat dengan terjadinya kompromi antara pihak pemodal, penguasa, militer dan lain-lain yang secara faktual di luar kapasitasnya. Selain itu bangunan dasar partai politik yang naif dan pragmatis, hal ini juga terlihat jelas ketika partai politik hanya bergerak dan bekerja manakala sedang menghadapi momentum perebutan kekuasaan menguntungkan bagi partai politik. Adanya gejala korupsi yang bersifat sistemik serta ada kecenderungan berpartai politik merupakan satu jenis profesi alternatif untuk mengais rezeki karena mudah mendirikan partai politik. Secara umum partai politik tumbuh di Indonesia bukan berfungsi sebagai sarana pengelola konflik, akan tetapi malah menjadi faktor signifikan dalam menciptakan, memperluas serta meningkatkan bobot konflik. Bukannya menjadi sarana kontrol sosial, namun malah menjadi institusi yang sulit dikontrol.
Akhirnya, partai politik tidak lagi memainkan peran sosoknya sebagai media perjuangan rakyat menuju kesejahteraan, akan tetapi justru menjadi alat untuk memperkaya diri dan memperkokoh posisi. Jika demikian realitasnya, kata ”demokrasi” di negeri ini hanya sebuah slogan bagi para politisi dan penguasa untuk meloloskan niat mereka, rakyat benar-benar berada di ujung tanduk, yang tak mampu berdiri tegak karena sendinya sangat rapuh. Tak ada jalan lain jika kemudian dampaknya seperti ini. langkah-langkah dan strategi partai politik tersebut kebanyakan tidak menggambarkan apa yang mereka sebut sebagai ideologi politik partai mereka. Langkah-langkah mereka cenderung pragmatis dan oportunis. Dan ironisnya partai politik tidak memiliki peran signifikan dalam mensukseskan pilkada yang jujur, adil, bersih dan aman di berbagai daerah. Sebab di internal partai sendiri masing-masing orang atau kelompok punya kepentingan masing-masing. Ini juga menjadi tolak ukur kegagalan partai politik untuk menanamkan nilai-nilai yang terdapat pada ideologi politik tersebut. Dengan kondisi semacam itu, dimana ada ketimpangan antara ideologi dengan realitas dan antara nilai-nilai dengan langkah-langkah partai politik di Indonesia. Dengan demikian jelaslah bahwa meskipun berada dalam lingkaran luar dalam sistem pembuatan kebijakan, partai politik memegang peranan yang cukup besar. Dengan demikian seharusnya partai politik itu keberadaannya sangat penting dalam proses pembuatan kebijakan publik. Partai politik seringkali tidak berfungsi sebagai penyedia akses bagi penyaluran tuntutan yang absah kepada penguasa, tetapi hanya sebagai elemen dalam strategi persatuan nasional dan pengontrolan pendapat.*
Eksistensi dan peran partai politik dalam proses pembuatan kebijakan sangat lemah. Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya peran partai politik dalam proses pembuatan publik adalah sistem kepartaian yang dianut oleh negara yang bersangkutan(James Anderson,1984:10). Sampai dengan pelaksanaan pemilihan umum tahun 1997 jumlah partai politik yang ada memang sama dengan yang dicirikan dalam sistem multiparty, tetapi peran partai dalam proses pembuatan kebijakan publik cenderung sama dengan yang ada di negara dengan sistem satu-partai. Dengan demikian partai politik praktis menjadi organ pemerintah di luar birokrasi maka parpol



* Ichlasul Amal.1988.Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta:Tiara Wacana.


kehilangan legitimasi di hadapan publik. Perkembangan ini akhirnya mempengaruhi penampilan parpol terutama dalam hal aksesnya terhadap policy making. Fungsi parpol sebagai penyalur aspirasi publik untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan public terkikis oleh peran barunya sebagai organ pemerintah.
Dalam pengertian melakukan perubahan dan penyesuaian struktur politik yang berkaitan erat dengan peran partai politik, antara lain Partai politik merupakan sarana yang sangat efektif dan bersifat legal dalam mewujudkan kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran dalam mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Untuk menjamin berjalannya peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat secara optimal, diperlukan keselarasan dan keseimbangan hubungan antar kekuatan sosial politik dan keseimbangan serta keselarasan peran partai politik itu sendiri baik sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, maupun sebagai sarana pengatur konflik tidak lagi mampu mengagregasi (menghimpun) dan mengartikulasi (menyalurkan) aspirasi masyarakat sehingga semakin jauh pula harapan bagi terjadinya konsolidasi demokrasi di tanah air.

No comments: