Friday, October 17, 2008

SEKATEN, ANTARA TRADISI, BUDAYA DAN DAKWAH ISLAM



Sejarah Sekaten Ngayogyakarta Hadiningrat

Pada tahun 1939 Caka atau 1477 Masehi, Raden Patah selaku Adipati Kabupaten Demak Bintara dengan dukungan para wali membangun Masjid Demak. Selanjutnya berdasar hasil musyawarah para wali, digelarlah kegiatan syiar Islam secara terus-menerus selama 7 hari menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. Agar kegiatan tersebut menarik perhatian rakyat, dibunyikanlah dua perangkat gamelan buah karya Sunan Giri membawakan gending-gending ciptaan para wali, terutama Sunan Kalijaga.

Setelah mengikuti kegiatan tersebut, masyarakat yang ingin memeluk agama Islam dituntun untuk mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain). Dari kata Syahadatain itulah kemudian muncul istilah Sekaten sebagai akibat perubahan pengucapan. Sekaten terus berkembang dan diadakan secara rutin tiap tahun seiring berkembangnya Kerajaan Demak menjadi Kerajaan Islam.

Demikian pula pada saat bergesernya Kerajaan Islam ke Mataram serta ketika Kerajaan Islam Mataram terbagi dua (Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta) Sekaten tetap digelar secara rutin tiap tahun sekali sebagai warisan budaya Islam yang diadakan pada bulan Maulud, bulan ketiga dalam tahun jawa dengan mengambil lokasi di pelataran atau Alun-alun Utara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dimulai pada akhir tahun 1960-an.

Di Kasultanan Ngayogyakarta, perayaan sekaten yang terus berkembang dari tahun ke tahun pada dasarnya terdapat tiga pokok inti yang antara lain:
1. Dibunyikannya dua perangkat gamelan ( Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu) di Kagungan Dalem Pagongan Masjid Agung Yogyakarta selama 7 hari berturut-turut, kecuali Kamis malam sampai Jumat siang.
2. Peringatan hari lahir Nabi Besar Muhammad SAW pada tanggal 11 Mulud malam, bertempat di serambi Kagungan Dalem Masjid Agung, dengan Bacaan riwayat Nabi oleh Abdi Dalem Kasultanan, para kerabat, pejabat, dan rakyat.
3. Pemberian sedekah Ngarsa Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan, berupa Hajad Dalem Gunungan dalam upacara Garebeg sebagai upacara puncak sekaten.
Kegiatan pendukung event tersebut adalah diselenggarakannya Pasar Malem Perayaan Sekaten selama 39 hari, event inilah yang menjadi daya tarik bagi masyarakat Jogja maupun luar Jogja.

Selain itu ada tiga unsur penting dalam tradisi sekaten Ngayogyakarto
1. Pasar malam sekaten
2. Upacara perayaan sekaten
3. Garebek sekaten

GAMELAN

Tradisi Gamelan Sekaten Menyambut Maulid
Keraton Yogyakarta selama sepekan sebelum peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW akan menggelar tradisi menabuh gamelan sekaten di pelataran Masjid Gede Kauman, Keraton Yogyakarta. Pada tanggal 5 bulan Maulud yang merupakan hari pertama perayaan Sekaten diawali pada tengah malam dengan sebuah prosesi abdi dalem yang berjalan dalam dua baris dengan membawa kedua perangkat gamelan pusaka yaitu, Kyai Guntur Madu dan Kyai Nagawilaga dikeluarkan dari tempat penyimpanannya dibangsal Sri Manganti, ke Bangsal Ponconiti yang terletak di Kemandungan Utara (Keben) dan pada sore harinya mulai dibunyikan di tempat ini. Antara pukul 23.00 hingga pukul 24.00 ke dua perangkat gamelan tersebut dipindahkan kehalaman Masjid Agung Yogyakarta meninggalkan Bangsal Ponconiti dalam suatu iring-iringan abdi dalem jajar, disertai pengawal prajurit Kraton berseragam lengkap. Di masjid agung Kyai Nogowilogo diletakkan di Pagongan Selatan. Kedua set gamelan ini dimainkan secara stimulan sampai tanggal 11 bulan Maulud, saat kedua gamelan tersebut dibawa kembali ke Kraton pada tengahmalam.

Kedua gamelan ini yang ditempatkan di sisi utara dan selatan masjid ditabuh selama 24 jam. Tabuhan dihentikan hanya jika datang waktu salat. Tempo dalam tabuhan gamelan tradisi sekaten ini mengalir lebih lambat seiring tarikan napas para penabuh dan pendengarnya. Gending-gending yang dimainkan ini merupakan karya Sunan Kalijaga salah seorang wali penyebar agama Islam di Jawa sebagai sarana yang komunikatif untuk berdakwah.

Disela- sela pergelaran, kemudian dilakukan khotbah dan pembacaan ayat-ayat suci dari Kitab Al-Quran. Bagi mereka yang bertekad untuk memeluk agama Islam, diwajibkan mengucapkan kalimat Syahadat, sebagai pernyataan taat kepada ajaran agama Islam.

Sambil mendengarkan, warga biasanya mengunyah kinang atau makan nasi gurih serta telur merah, tradisi makan kinang dan nasi gurih ini sebenarnya ungkapan rasa syukur atas terciptanya harmoni dalam masyarakat. Sayangnya, sebagian masyarakat saat ini tidak lagi memahaminya. Malah menjadikan kinang dan nasi gurih sebagai sarana ngalap atau mencari berkah tertentu.
Gamelan Sekaten Dibagi Dua

Tujuh hari menjelang Upacara Grebeg Maulud dan peringatan Maulud Nabi Besar Muhammad SAW, seperangkat Gamelan Sekaten Kangjeng Kiai Gunturmadu dan Kangjeng Kiai Nagawilaga dikeluarkan dari kraton ditempatkan di Kagungan Dalem Bangsal Pagongan Masjid Besar. Sejak pagi hingga tengah malam, kedua perangkat gamelan dibunyikan silih berganti, kecuali hari Jumat tidak ditabuh.

Kedua perangkat Gamelan Sekaten tersebut mengalami perjalanan panjang.Gamelan ini semula hanya terdiri tiga buah, gong, ketipung/kendhang, dan kempyang. Dan gamelan yang terdiri tiga buah itu sampai saat ini masih tersimpan di Museum Kraton Kasepuhan Cirebon.

Gamelan Sekaten dibunyikan sejak berdirinya Kraton Demak, Pajang, Mataram, sampai sekarang dan telah dilengkapi dengan beberapa jenis gamelan lain.

Latar belakang perjalanan dua perangkat gamelan tersebut, dari hasil Perjanjian Giyanti (1755) Mataram dibagi dua, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pembagian dua kerajaan termasuk semua inventarisasi juga ikut dibagi dua. Dua perangkat Gamelan Sekaten, termasuk juga dibagi untuk dua kerajaan. Kasunanan Surakarta mendapatkan Kangjeng Kiai Nagawilaga dan Kasultanan Yogyakarta Kangjeng Kiai Gunturmadu. Mengingat sejak adanya Gamelan Sekaten tersebut terdiri dua perangkat, maka tiap-tiap kraton membuatkan masing-masing pasangannya.

Berkaitan dengan peringatan Maulud Nabi Besar Muhammad SAW inilah, setiap tahun Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta menyelenggarakan Upacara Grebeg. Acara ini sekaligus ungkapan rasa syukur kehadlirat Illahi. Upacara Grebeg diwujudkan dengan rangkaian Upacara Sedekah Sultan, berupa gunungan dan lazim disebut Hajad Dalem Gunungan atau Pareden.

Di masing-masing kraton, baik Yogyakarta maupun Surakarta setiap Grebeg Maulud selalu didahului dengan Upacara Sekaten, selama tujuh hari. Upacara ini merupakan kegiatan Syiar Agama Islam, di mana kegiatannya berupa rangkaian dibunyikannya Kagungan Dalem Gamelan Sekaten diikuti dengan Tableg di Regol Masjid Besar. Upacara Tableg dipimpin Abdidalem Penghulu Kraton.

Gending-gending Sekaten adalah gending pujian kehadlirat Allah SWT dan Shalawat Nabi, serta ajakan untuk menjalankan Syariat Islam secara khusuk. Gending yang ada di Sekaten memiliki makna keagamaan. Gending pertama adalah Gending Rambu, yang diolah para wali dari puji syukur yang berasal dari kata Rabbulngalamin, yang berarti Tuhan yang menguasai segala alam. Dalam perkembangan selanjutnya, gending menjadi banyak. Instrumen pun memiliki makna, seperti gamelan pelog berasal dari kata falakh yang berarti kebahagiaan.Gending-gending yang diperdengarkan berbeda dengan gending-gending Jawa yang ada saat ini.

Nama-nama gending yang biasa dibunyikan tersebut, Yaume, Salatun, Ngayatun, Supiyatun, Dendang Sabenah, Rambu (ciptaan Sultan Bintara), Rangkung (ciptaan Sultan Agung), Lung Gadungpel, Atur-atur, Andong-andong, Rendeng-rendeng, Gliyung, Burung Putih, Orang-aring, Bayem Tur, dan Srundeng Gosong. Semua gending-gending itu dapat dinikmati di Kagungan Dalem Bangsal Pagongan Lor dan Pagongan Kidul, lewat Kagungan Dalem Gamelan Kangjeng Kiai Gunturmadu dan Kangjeng Kiai Nagawilaga yang ditabuh para abdidalem niyaga Kraton Yogyakarta.
Peringatan Maulud Nabi Besar Muhammad S.A.W.

Nabi Besar Muhammad S.AW. lahir pada tanggal 12 bulan Maulud, bulan ketiga dari tahun jawa. Di Yogyakarta,biasanya kelahiran Nabi diperingati dengan upacara Grebeg Maulud.Sekaten merupakan upacara pendahuluan dari peringatan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad. Diselenggarakan pada tanggal 5 hingga tanggal 12 dari bulan yang sama.

Pada umumnya, masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya berkeyakinan bahwa dengan turut berpartisipasi merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad S.AW.ini yang bersangkutan akan mendapat imbalan pahala dari Yang Maha Kuasa, dan dianugrahi awet muda. Sebagai " Srono " (Syarat) nya, mereka harus mengunyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan sekaten. Oleh karenanya, selama diselenggarakan perayaan sekaten itu, banyak orang berjualan sirih dengan ramuannya, nasi gurih bersama lauk-pauknya di halaman Kemandungan,di Alun-alun Utara maupun di depan Masjid Agung Yogyakarta. Bagi para petani, dalam kesempatan ini memohon pula agar panenannya yang akan datang berhasil. Untuk memperkuat tekatnya ini, mereka memberi cambuk (bhs. Jawa ;pecut) yang dibawanya pulang.

GAREBEG
Puncak dari perayaan Sekaten adalah Garebeg Maulud yang diadakan pada tanggal 12 bulan Maulud. Festival ini dimulai pada pukul 07.30 pagi, diawali oleh parade prajurit Kraton, yang terdiri dari sepuluh unit yang berama : Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijero, Surokarso dan Bugis yang mengenakan seragam kebesaran mereka( kesepuluh inti prajurit kraton ini diabadikan menjadi nama-nama tempat di Yogyakarta seperti Wirobrajan, Daengan, Patangpuluhan, Jokokaryan, Prawirotaman, Nyutran, Ketanggungan, Mantrijeron, Surokarsan,dan Bugisan). Parade dimulai di halaman utara Kemandungan dan Kraton, menyeberangi Sitihinggil dan menuju ke Pagelaran di alun-alun utara. Pada pukul 10.00, Gunungan meninggalkan Kraton dengan didahului oleh pasukan Bugis dan Surokarso.

Gunungan terdiri dari makanan seperti sayuran, kacang-kacangan, cabai merah, telur, beberapa makanan berbahan dasar, yang disusun membentuk gunung yang melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan Mataram. Saat parade menyeberangi alun-alun utara, mereka akan disambut oleh tembakan salvo dan sorkan prajurit Kraton yang telah menunggu. Prosesi tersebut disebut Garebeg. Kata Garebeg berasal dari bahasa Jawa 'Brebeg" atau "Gumerebeg" yang berarti suara ribut yang ditimbulkan oleh sorakan penonton. Gunungan kemudian akan dibawa menuju Masjid Agung dimana setelah gunungan itu diberkahi, orang-orang akan berebutan mengambil bagian-bagian dari Gunungan tersebut, karena percaya bahwa gunungan itu merupakan benda suci, sehingga bagian-bagiannya pun dipercaya mempunyai kekuatan supranatural. Para petani sering menanam bagian dari gunungan tersebut di sawah dengan harapan akan dijauhkan dari bencana atau nasib sial. Menurut penanggalan Jawa, ada perayaan lain selain Garebeg Maulud, yang desebut Garebeg Syawal. Perayaan tersebut diadakan setelah bulan Ramadhan. Garebeg Syawal diadakan pada hari pertama bulan Syawal (bulan Jawa). Garebeg Besar diadakan pada hari ke-10 bulan Jawa, yang dihubungkan dengan hari raya umat Muslim (Qurban, Idhul Adha).

Masyarakat Yogyakarta dan daerah sekitarnya masih percaya bahwa perayaan Sekaten, khususnya pada saat diiringi gamelan, akan mendatangkan berkah dari Tuhan untuk pekerjaan, kesehatan dan masa depan mereka.

UPACARA SEKATEN
Upacara sekaten merupakan ajang interaksi sosial masyarakat dalam wujud kegiatan pasar malam di alun-alun utara. Sebelum upacara Sekaten dilaksanakan, diadakan dua macam persiapan, yaitu persiapan fisik dan spiritual. Persiapan fisik berupa peralatan dan perlengkapan upacara Sekaten, yaitu Gamelan Sekaten, Gendhing Sekaten, sejumlah uang logam, sejumlah bunga kanthil, busana seragam Sekaten, samir untuk niyaga, dan perlengkapan lainnya, serta naskah riwayat maulud Nabi Muhammad SAW.

Gamelan Sekaten adalah benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kyai Sekati dalam dua rancak, yaitu Kanjeng Kyai Nogowilogo dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan Sekaten tersebut dibuat oleh Sunan Giri yang ahli dalam kesenian karawitan dan disebut-sebut sebagai gamelan dengan laras pelog yang pertama kali dibuat. Alat pemukulnya dibuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau dan untuk dapat menghasilkan bunyi pukulan yang nyaring dan bening, alat pemukul harus diangkat setinggi dahi sebelum dipuk pada masing-masing gamelan.Sedangkan Gendhing Sekaten adalah serangkaian lagu gendhing yang digunakan, yaitu Rambu pathet lima, Rangkung pathet lima, Lunggadhung pelog pathet lima, Atur-atur pathet nem, Andong-andong pathet lima, Rendheng pathet lima, Jaumi pathet lima, Gliyung pathet nem, Salatun pathet nem, Dhindhang Sabinah pathet em, Muru putih, Orang-aring pathet nem, Ngajatun pathet nem, Batem Tur pathet nem, Supiatun pathet barang, dan Srundeng gosong pelog pathet barang. Untuk persiapan spiritual, dilakukan beberapa waktu menjelang Sekaten. Para abdi dalem Kraton Yogyakarta yang nantinya terlibat di dalam penyelenggaraan upacara mempersiapkan mental dan batin untuk mengembang tugas sakral tersebut. Terlebih para abdi dalem yang bertugas memukul gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri dengan berpuasa dan siram jamas.

Sekaten dimulai pada tanggal 6 Maulud (Rabiulawal) saat sore hari dengan mengeluarkan gamelan Kanjeng Kyai Sekati dari tempat persemayamannya, Kanjeng Kyai Nogowilogo ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng Kyai Guntur Madu di Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi dalem prajurit bertugas menjaga gamelan pusaka tersebut, yaitu prajurit Mantrijero dan prajurit Ketanggung. Di halaman Kemandungan atau Keben, banyak orang berjualan kinang dan nasi wuduk. Lepas waktu sholat Isya, para abdi dalem yang bertugas di bangsal, memberikan laporan kepada Sri Sultan bahwa upacara siap dimulai. Setelah ada perintah dari Sri Sultan melalui abdi dalem yang diutus, maka dimulailah upacara Sekaten dengan membunyikan gamelan Kanjeng Kyai Sekati.
Yang pertama dibunyikan adalah Kanjeng Kyai Guntur Madu dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Menyusul kemudian dibunyikan gamelan Kanjeng Kyai Nogowilogo dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Demikianlah dibunyikan secara bergantian antara Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogowilogo. Di tengah gendhing, Sri Sultan datang mendekat dan gendhing dibuat lembut sampai Sri Sultan meninggalkan kedua bangsal. Sebelumnya Sri Sultan (atau wakil Sri Sultan) menaburkan udhik-udhik di depan gerbang Danapertapa, bangsal Srimanganti, dan bangsal Trajumas.
Tepat pada pukul 24.00 WIB, gamelan Sekaten dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta dengan dikawal kedua pasukan abdi dalem prajurit Mantrijero dan Ketanggung. Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di pagongan sebelah selatan gapuran halaman Masjid Agung dan Kanjeng Kyai Nogowilogo di pagongan sebelah utara. Di halaman masjid tersebut, gamelan Sekaten dibunyikan terus menerus siang dan malam selama enam hari berturut-turut, kecuali pada malam Jumat hingga selesai sholat Jumat siang harinya.
Pada tanggal 11 Maulud (Rabiulawal), mulai pukul 20.00 WIB, Sri Sultan datang ke Masjid Agung untuk menghadiri upacara Maulud Nabi Muhammad SAW yang berupa pembacaan naskah riwayat maulud Nabi yang dibacakan oleh Kyai Pengulu. Upacara tersebut selesai pada pukul 24.00 WIB, dan setelah semua selesai, perangkat gamelan Sekaten diboyong kembali dari halaman Masjid Agung menuju ke Kraton. Pemindahan ini merupakan tanda bahwa upacara Sekaten telah berakhir.


Esensi Sekaten

Sekaten ini dimeriahkan oleh warga masyarakat DIY dalam rangka memperingati dan menghormati sekaligus hendak meneladani Rasulullah SAW dalam memperjuangkan islam. Oleh karenanya, kegiatan yang digelar pun masih bernuansa keislaman, sebagai syiar islam kepada seluruh masyarakat. Meski dalam perkembangannya, sekaten ini menjadi sebuah tradisi budaya yang kian hari kian pudar bahkan kehilangan ruhnya, dan ada beberapa di dalamnya ada kekerasan untuk memperebutkan bahan pangan yang ada di dalamnya yang konon dianggap oleh warga setempat bisa menuai berkah jika mendapatkan salah satunya.

Sekaten sesungguhnya adalah momentum dakwah yang merupakan karya besar Wali Sanga. Lewat momentum sekaten, Wali Sanga mampu memadukan dakwah dan budaya, sehingga masyarakat tersentuh dengan acara tersebut. Esensi sekaten dari aspek dakwah adalah peringatan Maulid Nabi (kelahiran nabi), yang diharapkan bisa menjadi teladan moralitas. Sedang aspek budaya masyarakat diharapkan bisa menjadi perekat yang kokoh. Sehingga antara budaya dan dakwah bisa saling mengisi dan melengkapi. Dengan demikian sekaten sesungguhnya bukanlah semata arena dangdut, hiburan dan pasar malam. Justru esensi sekaten adalah perpaduan antara dakwah dan budaya masyarakat yang diharapkan mampu mewujudkan keluhuran akhlak di tengah masyarakat.

Di tengah krisis moral yang melanda umat manusia dewasa ini, nilai-nilai agama bagai embun penyejuk memberi kekuatan batin. Pesan-pesan moral di tengah kegersangan spiritual yang semakin memprihatinkan saat ini bisa dikemas dengan berbagai bentuk. Seperti model dakwah lewat pendekatan budaya yang dilakukan oleh Wali Sanga ratusan tahun lalu, yang ternyata sangat efektif dan menyentuh bagi masyarakat Jawa.

Setiap kali bicara sekaten tentu tidak bisa lepas dari acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Karena sesungguhnya esensi sekaten sendiri adalah menanamkan semangat juang umat Islam yang digali dari sejarah perjuangan Nabi. Esensi peringatan Maulid Nabi sesungguhnya untuk membangkitkan kembali moralitas umat, yang diwujudkan dengan tumbuhnya rasa cinta kepada Nabi. Kecintaan kepada Nabi sekaligus menumbuhkan kecintaan kepada ajarannya yang diwujudkan dengan ketaatan melaksanakan ajaran agama.

Dakwah Islam di Pulau Jawa yang dilakukan oleh Wali Sanga dalam rangka menyebarluaskan dakwah Islamiyah di tengah masyarakat. Wali Sanga menggagas acara sekaten yang memadukan peringatan Maulid Nabi dengan budaya Jawa. Sekaten merupakan media dakwah yang dikemas sedemikan rupa, sehingga masyarakat yang datang ke acara ini bisa melihat budaya rakyat sekaligus mendapatkan syiar dakwah. Keberhasilan Wali Sanga dalam menyebarkan dakwah Islam di pulau Jawa adalah karena kecerdasan mereka lewat pendekatan budaya.

Dalam peringatan Maulid Nabi sesungguhnya banyak hikmah yang bisa diperoleh. Sebab lewat peringatan tersebut akan diulas kembali berbagai keteladanan yang dilakukan Nabi. Dari sekian banyak teladan yang diberikan oleh Nabi bisa diambil satu contoh ucapan Nabi, bahwa tugas utama yang diemban beliau adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Persoalan akhlak (moralitas) ini, sejak awal dakwah Nabi memang sudah disebut merupakan tugas berat namun luhur. Dewasa ini pun persoalan krisis moral semakin memprihatinkan dan sudah merambah ke hampir ke semua sektor kehidupan. Krisis moral yang melanda bangsa Indonesia saat ini tampaknya sudah sampai pada titik nadir, sehingga tidak ada lagi rasa malu dan korupsi pun semakin merajalela di tengah penderitaan rakyat.

Kini, tatkala moralitas umat dilanda kritis yang memprihatinkan, dan tatkala kegersangan spiritual semakin suram, peringatan sekaten yang mengandung esensi Maulid Nabi, perlu diaktualisasikan. Sekaten perlu dijadikan sebagai momentum kebangkitan moral dengan kembali meneladani akhlak Nabi yang jujur, egaliter, adil dan berpihak pada kaum lemah. Ketika penguasa saat ini semakin banyak yang melakukan korupsi, dan ketika wakil rakyat tidak malu memperkaya diri di tengah penderitaan rakyat, keteladanan akhlak Nabi perlu dihadirkan lewat acara sekaten. Lewat momentum sekaten ini diharapkan bisa menjadi media untuk menggugah kembali moralitas umat tentang keteladanan akhlak Nabi.

Sekaten pada hakikatnya merupakan event yang sangat lekat dengan rakyat. Sehingga, penyelenggaraan pasar malam dan perayaan Sekaten sebagai agenda tahunan yang bernuansa religius dan budaya ini hendaknya benar-benar dikemas dengan tetap mengingat aspek sosial kemasyarakatannya.

Sekaten Bertahan Berkat Energi Spiritual
Perayaan Sekaten hingga kini masih tetap bertahan, berkat energi spiritual yang masih tetap tersimpan. Kekuatan religi kultural Sekaten sejak abad XV hingga abad XX, telah terbukti dan menjadi salah satu kekuatan ekonomi. Puncak perayaan Sekaten pertama kali terjadi pada tahun 1960-an, yang ditandai dengan adanya partisipasi dari kedutaan besar negara-negara sahabat. Puncak perayaan Sekaten yang kedua, diawali pada tahun 2004 ini, yang ditandai dengan aneka pameran produk yang sangat beragam.

Memudarnya Esensi dakwah Islam
Banyak pandangan yang menyangsikan keberhasilan dakwah Islam dalam Sekaten pada masa terkini. Bahkan ada kekhawatiran timbul pemikiran syirik dalam upacara Sekaten tersebut, meski upaya dakwah Islam tetap diutamakan. Namun, munculnya pandangan ini sesungguhnya merupakan koreksi terhadap putusnya rantai estafet dakwah yang ada sejak zaman kerajaan sampai sekarang. Maka, sudah menjadi tugas para ulama Islam untuk memberikan pelurusan tentang materi kerohanian Sekaten sebenarnya.

Lambang-lambang yang digunakan dalam upacara Sekaten sering disalahartikan oleh masyarakat yang kemudian dijadikan mitos. Sedang nilai keagamaan yang terkandung dalam makna lambang-lambang justru belum sempat tercerna.


Simbol-Simbol dan Filosofi dalam Sekaten

Kinang
Merupakan daun sirih yang dilengkapi dengan injet atau kapur masak dan gambir. Kinang ini dipercaya dapat meembuat orang awet muda dan menjaga susunan dan kesehatan gigi. Daun sirih merupakan bagian dari sad rasa (enam rasa) yaitu manis, asin, asam, pedas, pahit, dan sepet atau asam. Hal itu bisa diibaratkan orang hidup, bahwa kehidupan ini beraneka rasa yang menjadi penyeimbang satu dengan yang lanilla. Seperti halnya sesuatu yang pahit meski tidak enak tetapi Belem tentu merugikan karena bisa dijadikan obat.

Bunga kanthil
Menurut orang Jawa bunga yang aji atau yang baik adalah bunga yang harum baunya. Bunga kanthil yang harem ini mencerminkan ajining diri atau jati diri seseorang

Sega gurih

Dalam bahasa Indonesia sering disebut nasi uduk merupakan lambang dari keberkatan dan kemakmuran, pada saat manusia dilahirkan telah disediakan fasilitas oleh Tuhan seperti sumber daya alam yang melimpah, tinggal bagaimana manusia mengelola dan memanfaatkannya untuk kemakmuran umat, bukan malah sebaliknya menghancurkannya. Nasi uduk ini dimasak dengan berbagai macam bumbu yang membuat nasi ini lebih enak meskipun tanpa lauk pauk dibandingkan nasi biasa hal ini dimaksukan bahwa agar masyarakat khususnya Yogyakarta dapat menikmati kehidupan yang lebih baik, lebih enak, tentram, tenang, damai, dan tidak kurang statu apapun.

Endhog abang
Dalam bahasa Indonesia berarti telur merah, telur yang direbus dengan berbagai macam bahan yang dapat membuat telur tersebut menjadi merah seperti kulit bawang merah. Telur diibaratkan bibit dari semua makhluk hidup, sedangkan warna merah dipilih karena selain melambangkan keberanian atau optimisme hidup dan orang jaman dahulu sering menyebut bayi yang baru lahir dengan sebutan bayi abang merupakan simbol bahwa masyarakat bisa lebih optimis dalam menghadapi hidup ini yang terkadang penuh dengan ketidakpastian. Telur ini biasanya ditusuk dengan bambu dan di atasnya diberi hiasan. Tusuk bambu itu diibaratkan dengan keberadaan Tuhan, semua makhluk hádala ciptaan Tuhan maka bibit yang telah diciptakan itu setelah menjadi bayi lalu berkembang agar selalu menghormat dan menyembah Tuhan

Pecut
Pecut atau cambuk ini diibaratkan sebagai pengendali untuk mengarahkan kehidupan kearah yang lebih baik

Grebeg
Grebeg merupakan puncak perayaan sekaten ini merupakan ungkapan syukur Ngarsa Dalem untuk rakyatnya. Grebek yang terdiri dari beberapa gunungan berisi makanan dan sayuran diberikan dengan rayahan atau berebut. Hal ini melambangkan bahwa setiap rakyat yang ingin mendapat hajat Dalem berebut karena di dalam hidup ini untuk mendapatkan sesuatu harus dengan usaha.

1 comment:

Anonymous said...

Christmas is coming! Are you ready to host your annual Christmas celebration? Do you have all your gifts purchased?
Buy now, get the nice key holder or chain at zero cost!
http://www.europehandbag.com/